Ibtihal Aboussad: Suara Nurani dari Jantung Dunia Teknologi
Di tengah dunia yang dikendalikan oleh kekuatan algoritma, kapitalisme teknologi, dan kepentingan geopolitik global, suara yang tulus dan berani seperti milik Ibtihal Aboussad terdengar begitu langka—namun begitu mengguncang. Ibtihal bukan hanya seorang profesional di bidang teknologi, bukan pula sekadar karyawan di perusahaan raksasa dunia. Ia adalah representasi dari nurani yang tak bisa dibungkam, dari keberanian yang tumbuh bukan karena dukungan sistem, tapi karena iman, moral, dan rasa kemanusiaan yang tak bisa ditawar.
Sebagai karyawan Microsoft, Ibtihal Aboussad berada di jantung dari perusahaan teknologi yang memiliki kekuasaan besar dalam menentukan arah perkembangan kecerdasan buatan (AI) dunia. Namun siapa sangka, dari pusat kekuatan itu, lahir suara perlawanan. Dalam sebuah forum internal yang memperingati ulang tahun ke-50 Microsoft, Ibtihal menyampaikan protesnya secara langsung kepada para petinggi perusahaan:
“You claim that you care about using AI for good, but Microsoft sells AI weapons to the Israeli military. Fifty-thousand people have died, and Microsoft powers this genocide in our region.”
Pernyataannya bukan retorika emosional. Ia menyingkap kenyataan pahit bahwa teknologi yang dibanggakan sebagai “kekuatan untuk kebaikan” justru menjadi bagian dari mesin pembunuh yang menimpa rakyat sipil di Gaza. Lebih dari 50.000 jiwa telah melayang, dan Ibtihal menyebut apa yang terjadi sebagai genosida, bukan sekadar konflik.
Sikap ini bukan tanpa risiko. Di tengah budaya korporasi yang menjunjung tinggi loyalitas diam, langkah Ibtihal adalah bentuk pembangkangan moral. Ia mempertaruhkan karier, keamanan, dan mungkin kehidupannya, demi satu hal: menyuarakan kebenaran.
Apa yang membuat sikap Ibtihal begitu monumental bukan hanya karena konteksnya dalam dunia teknologi, tapi karena identitasnya sebagai perempuan—dan lebih khusus lagi, sebagai perempuan Muslimah. Ia menembus dua lapis batas: batas struktural yang menindas suara perempuan dalam korporasi, dan batas sosial yang sering membuat perempuan Muslimah tak dianggap mampu bersuara lantang dalam ruang publik global.
Dalam sejarah panjang perjuangan keadilan, perempuan sering kali menjadi aktor yang direduksi. Namun Ibtihal menunjukkan bahwa seorang perempuan bisa menjadi penjaga etika di tengah mesin teknologi. Ia bukan sekadar teknolog, tetapi juga pejuang kemanusiaan—dengan lisannya, dengan ilmunya, dan dengan keyakinannya.
Ia hadir sebagai representasi nyata dari prinsip Islam: amar ma’ruf nahi munkar. Ketika banyak orang memilih membungkam nurani atas nama “profesionalisme”, Ibtihal justru menghidupkan kembali makna tanggung jawab spiritual dan sosial yang telah lama dilupakan.
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ”
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya; jika tidak mampu maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim no. 49)
Ibtihal memilih jalan kedua: bersuara. Dalam struktur sebesar Microsoft, bersuara bukan hal ringan. Namun justru di sanalah terletak esensi keberanian yang sejati. Ia tahu konsekuensinya, namun tetap maju. Suaranya adalah simbol dari iman yang hidup dan keadilan yang menuntut untuk ditegakkan, meski melawan arus sistem yang menindas.
Di era di mana perempuan dihadapkan pada dilema antara aktualisasi diri dan konsistensi nilai, Ibtihal memberi satu teladan bahwa aktualisasi tertinggi bukan pada pengakuan sistem, tetapi pada keberanian menjaga nilai. Ia membuktikan bahwa seorang perempuan bisa hadir di ruang strategis dunia, bukan untuk menyesuaikan diri dengan arus, tapi justru untuk mengarahkan arus itu kembali pada arah yang benar.
Bagi para Muslimah, kisah Ibtihal adalah panggilan. Bahwa ilmu, keahlian, dan posisi strategis bukanlah tujuan akhir, tapi wasilah (jalan) untuk memperjuangkan yang hak. Bahwa menjadi Muslimah profesional bukan berarti tunduk pada nilai pasar, tapi pada nilai langit—nilai tauhid, keadilan, dan kemanusiaan.
Dalam dunia yang penuh narasi ganda dan kekaburan informasi, suara Ibtihal adalah lentera. Ia membuktikan bahwa satu suara, jika dilandasi kebenaran dan keberanian, mampu mengguncang sistem sebesar apapun. Ia adalah wajah dari perlawanan moral yang tak bisa dibungkam oleh algoritma atau politik korporasi.
Dan semoga kisahnya menjadi inspirasi bagi generasi baru perempuan—bahwa menjadi Muslimah bukan hanya soal identitas pakaian atau simbolik agama, tetapi tentang keberanian untuk menjadi penjaga nurani dunia.