Lebih dari Sekadar Selembar Kertas: Sejarah dan Kontroversi Ijazah
Di berbagai penjuru dunia, ijazah bukan lagi sekadar kertas bertuliskan nama dan gelar. Ia telah menjadi simbol pencapaian, pintu masuk ke dunia kerja, penanda status sosial, hingga alat pemenuh kepuasan pribadi. Tapi, apa jadinya kalau selembar dokumen itu tidak benar-benar mencerminkan kemampuan yang sebenarnya? Di balik tampilan selembar kertas premium dan cap resmi yang tertera, ada sejarah panjang yang bermula dari niat mulia yang kini juga tercoreng oleh praktik-praktik curang dan tidak etis yang dilakukan oleh individu dan lembaga yang tidak bertanggungjawab.
Dari universitas abad pertengahan hingga platform belajar daring masa kini, bentuk dan fungsi ijazah terus mengalami perubahan. Namun, satu hal yang selalu menjadi pertanyaan: apakah ijazah benar-benar mencerminkan seseorang pembelajar sejati atau bahkan seseorang yang kompeten di bidang tertentu?
Sejarah Singkat Ijazah
Tradisi pemberian sertifikat pendidikan sudah ada sejak zaman kuno. Dalam dunia Islam, para ulama masa lampau memberikan “ijazah” kepada murid-murid yang telah dianggap layak meriwayatkan atau mengajarkan suatu ilmu. Ijazah ini diberikan langsung oleh guru yang kredibel, dan ilmunya bisa dilacak hingga ke sumber aslinya melalui sanad.
Di Eropa, universitas tua seperti Bologna dan Oxford mulai menerbitkan ijazah sejak abad pertengahan, sebagai bukti penguasaan bidang tertentu. Saat itu, sertifikat adalah bentuk pengakuan atas dedikasi, pelatihan dan pemahaman seorang murid yang diperoleh langsung dari para ahli.
Lambat laun, sistem ini menjadi semakin terlembagakan. Revolusi Industri dan lahirnya negara-negara memperkuat peran pendidikan formal dan sekaligus mendongkrak pentingnya sertifikasi. Pemerintah, perusahaan, dan institusi pendidikan mulai bergantung pada ijazah sebagai bukti kualifikasi seseorang. Inilah fondasi dari sistem pendidikan modern yang kita kenal sekarang.
Fungsi dan Peran Sertifikat
Secara ideal, ijazah adalah bukti dari kerja keras, ilmu, dan keterampilan yang dimiliki seseorang. Ia menjadi syarat untuk melanjutkan pendidikan, melamar pekerjaan, atau mendapatkan izin profesi. Di banyak negara, tanpa ijazah, seseorang bisa kehilangan banyak peluang baik dalam hal pendidikan maupun pekerjaan.
Sertifikat juga membantu menyamakan standar pendidikan, sehingga lembaga atau perusahaan lebih mudah mengevaluasi kemampuan seseorang secara efisien. Sehingga sertifikat sering dipandang sebagai jaminan tingkat keahlian minimum pada level tertentu. Tapi seiring meningkatnya tekanan untuk “memiliki” sertifikat, muncul juga dorongan untuk mendapatkannya dengan cara yang tidak jujur.
Kontroversi Pemalsuan dan Masalah Etika
Salah satu masalah yang semakin sering muncul adalah maraknya ijazah palsu dan “diploma mill” atau institusi yang menjual gelar tanpa proses akademik yang sah. Praktik ini tidak hanya merugikan institusi pendidikan yang benar-benar berkualitas, tapi juga merugikan orang-orang yang menempuh jalur pendidikan dengan sungguh-sungguh.
Skandal ijazah palsu sudah menimpa banyak tokoh, dari politisi hingga pebisnis papan atas. Praktik ini sangat merugikan, tidak hanya mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem dan kualitas pendidikan, tetapi sangat beresiko besar pada bidang pekerjaan seperti kesehatan, pendidikan, hukum, atau teknik.
Bahkan dalam sistem yang sah, praktik tidak etis dapat terjadi. Di beberapa negara, suap dan korupsi telah menyebabkan penerbitan sertifikat secara ilegal. Nilai bisa dimanipulasi, ujian bisa diatur, semuanya demi mendapatkan sertifikat yang mungkin tidak mencerminkan kemampuan sesungguhnya. Tidak heran jika ijazah menjadi salah satu yang paling sering dipalsukan.
Tren Baru di Era Digital
Di era digital, muncul bentuk sertifikasi baru: mikro-kredensial dan lencana digital. Ini bertujuan mengakui keterampilan spesifik tanpa harus menyelesaikan satu program akademik panjang. Meski mendukung semangat belajar sepanjang hayat, sistem ini juga menimbulkan pertanyaan tentang standarisasi dan keabsahan.
Banyak pihak mulai mengkritik masyarakat modern yang terlalu berorientasi pada “sertifikat”. Seolah-olah selembar sertifikat bisa mewakili kecerdasan atau kapasitas seseorang secara utuh. Padahal, keterampilan nyata dan pengalaman informal sering kali tidak kalah penting.
Kini mulai muncul pendekatan berbasis kompetensi, menilai apa yang benar-benar bisa dilakukan, bukan sekadar apa yang tertulis di atas dokumen.
Dampak Etis dan Sosial
Terlalu fokus pada sertifikat bisa menciptakan budaya “kredensialisme,” di mana dokumen lebih dihargai daripada manusianya sendiri. Siswa bisa terjebak dalam pola pikir mengejar nilai dan ijazah, alih-alih mencari makna dari proses belajar itu sendiri.
Di banyak tempat, terutama daerah yang sistemnya korup atau sumber dayanya terbatas, akses terhadap sertifikasi resmi sangat sulit. Ini mendorong sebagian orang mencari jalan pintas yang tidak sah, dan secara tidak langsung memperkuat ketimpangan sosial dan pendidikan.
Pada dasarnya, ijazah dan sertifikat seharusnya menjadi alat untuk mengakui pencapaian belajar atau sebagai bukti bahwa seseorang pernah belajar. Tapi dalam praktiknya, ia menjadi komoditas yang diperdagangkan, dipalsukan, bahkan dimanipulasi. Ke depan, yang paling penting adalah menjaga integritas sistem sertifikasi, dan menghidupkan kembali budaya belajar yang tulus. Sebab hanya dengan begitu, selembar kertas benar-benar bisa mencerminkan ilmu, keterampilan, dan nilai-nilai yang sejati.